Sabtu, 24 November 2012
buble properti
Potensi bubble (gelembung) sektor properti kian mengkhawatirkan. Tidak hanya di Indonesia, beberapa negara di Asia, juga terancam letusan proyek properti akibat maraknya spekulasi harga-harga dan minimnya penyerapan.
Hampir tidak ada yang menyangkal ada potensi bubble di sektor properti yang tinggi di Indonesia. Pengakuan potensi bubble beragam. Yang lebih halus mengatakan meski ada indikasi risiko bubble properti, pertumbuhan pasar properti di Indonesia terbilang stabil sehingga masih jauh dari kemungkinan bubble properti dalam waktu dekat ini.
Akan tetapi, beberapa pihak mengatakan kredit di sektor properti sudah mengkhawatirkan. Lembaga riset dan konsultan properti, Cushman & Wakefield, misalnya, menyebutkan bahwa sektor kondominium memiliki risiko terjadinya gelembung dikarenakan tingkat pertumbuhan pembangunan lebih tinggi daripada permintaan.
Munculnya potensi bubble, menurut Associate Director Research & Advisory, Arief Rahardjo, disebabkan situasi Indonesia yang dinilai sudah membaik sehingga pengembang dengan seenaknya dan secara masif membangun proyek properti di mana-mana.
Gayung bersambut. Dengan alasan intermediasi, perbankan merespon ssikap pengembang. Perbankan seperti jor-joran mengguyurkan dananya ke industri properti. "Tentunya ini akan berbahaya. Namun, jika dilihat trennya, sekarang investasi kondominium di atas deposito," kata Arief di Jakarta, belum lama ini.
Artinya, wajar jika bisnis properti jenis ini sedang berada di lampu kuning. Sektor kondominium yang harus diantisipasi. Meski kenaikan permintaan di sektor ini lebih sedikit dibanding yang terlihat pada sektor perkantoran, perumahan, dan kawasan perindustrian.
Tingkat penjualan kondominium masih relatif stabil pada kuartal pertama 2012 dibanding periode yang sama tahun lalu. "Karena itu, dibanding sektor properti lain, kondominium lebih berpotensi mengalami market bubble sebab tingkat permintaan yang ada sekarang tidak terlalu tinggi, sementara pertumbuhan pembangunan terus dilakukan," ujar Associate Director Research & Advisory Cushman & Wakefield, Arief Rahardjo, saat konferensi pers di kantor Bursa Efek Jakarta,Selasa (17/4).
Kondisi bubble akan terus menjadi ancaman bagi perkembangan sektor kondominium jika harga sewa mengalami kenaikan berlanjut dan tingkat pembangunannya gencar dikerjakan. Padahal, tingkat kekosongan hunian semakin tinggi. Banyak ruang kondominium yang belum terisi. Tidak mengherankan apabila properti ini sedang di lampu kuning peringatan.
"Jika tidak diantisipasi akan mengalami bubble terus-menerus," kata dia. Berdasarkan laporan lembaga riset dan konsultan properti, Cushman & Wakefield, pada kuartal pertama 2012, harga sewa subsektor kondominium, apartemen servis, mengalami kenaikan 5 persen dari kuartal lalu dan 12 persen dari tahun lalu sehingga rata-rata harga sewa pada kuartal pertama 2012 menjadi 24,6 dollar AS per m2 per bulan.
Saat ini, harga properti, memang terkesan tak wajar. Misalnya, apartemen di kawasan Senopati sudah berharga 4 hingga 5 miliar rupiah. Salah satu pendorong kenaikan harga properti di Jakarta adalah naiknya harga tanah yang berlangsung dalam dua tahun terakhir. Untuk kawasan utama Jakarta, seperti Gatot Subroto, Kuningan, dan Sudirman, harga tanah bahkan naik dua kali lipat dalam dua tahun.
Harga tanah di Sudirman yang beberapa tahun lalu senilai 50 juta rupiah per meter, kini sudah mencapai ratusan juta. Bahkan, untuk properti mewah, Jakarta menempati posisi pertama dengan kenaikan 14,3 persen. Dua kota lainnya adalah Beijing (8,1 persen) dan Hong Kong (4,6 persen).
Lantas, bagaimana tren bisnis properti di Asia? Kita lihat Cina. Menurut Kepala eksekutif Toll Brothers, Robert Toll, saat ini, negeri tirai bambu itu terbilang memiliki prospek dan pangsa pasar properti terbesar di dunia. Titik pertumbuhan sektor properti dan realestat yang paling pesat terdapat di dua kota terbesarnya, yaitu Beijing dan Shanghai.
Harga rata-rata biaya sewa lahan di kedua kota terebut mencapai 17 ribu hingga 19 ribu dollar AS per meter persegi (m2). Namun, dalam beberapa waktu terakhir, sektor realestat Cina dihadapkan pada sebuah kekhawatiran akan terjadinya sebuah bubble mengingat adanya potensi meningkatkan penawaran sektor properti, sedangkan jumlah permintaan cenderung mengalami penurunan
Kondisi tersebut dapat terlihat pada turunnya harga rumah 10 persen hingga 20 persen selama kuartal I-2012. Di sisi lain, kondisi tersebut menurut banyak kalangan dinilai akan hanya bersifat sementara. Peluang terjadinya kembali peningkatan permintaan secara masif masih cukup terbuka lebar dalam jangka panjang.
Dalam lima tahun terakhir pertumbuhan di sektor properti dan realestat di Cina mencapai 93,7 persen. Shanghai dan Beijing menjadi kota yang memiliki jumlah permintaan properti terbesar di dunia, sedangkan Hong Kong juga masuk sebagai negara yang memiliki harga properti termahal.
Seperti halnya di Cina, Hong Kong pun juga terkena imbas kekhawatiran mengenai ancaman terjadinya bubble. Apalagi penduduk lokal mulai keberatan dengan harga jual properti yang semakin tinggi.
Harga rumah di Hong Kong sepanjang tahun 2011 lalu dilaporkan turun 11,3 persen dibandingkan tahun 2010, sedangkan harga jual rumah mewah mengalami penurunan 23,6 persen pada kuartal pertama 2012 ini.
Tetap Tinggi
Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan sektor properti di kawasan Asia Tenggara mencapai 50,5 persen. Singapura disebutkan menjadi negara ketiga dengan tingkat pertumbuhan harga produk properti termahal, mencapai 25. 600 dollar per meter persegi, setelah Hong Kong dan Tokyo.
Prospektifnya sektor properti Singapura disebabkan oleh rendahnya suku bunga acuan dan tingginya tingkat imigrasi yang mendorong kebutuhan akan tempat tinggal. Menurut Citigroup, pada tahun lalu tercatat penjualan rumah baru mengalami kenaikan 18 persen.
Sementara itu, konsultan properti, Knight Frank Global, sebelumnya, melaporkan bahwa pasar perumahan di Cina telah menggeser kedudukan Hong Kong sebagai negara dengan pasar perumahan yang teraktif di dunia pada kuartal pertama 2012 ini, dengan kenaikan harga lebih dari dua kali lipat dibanding negara lain.
Menurut Liam Bailey, kepala peneliti perumahan di Knight Frank Global, pasar realestat Cina sedang terpacu oleh keterbatasan peluang investasi bagi penduduk setempat dan migrasi penduduk desa ke kota besar.
"Kenaikan harga tersebut menunjukkan bahwa usaha pemerintah untuk mengekang spekulasi properti melalui tindakan pembatasan pinjaman dan persyaratan uang muka lebih besar belum berhasil melemahkan pasar," papar Liam.
Harga rumah melonjak 68 persen di kota-kota utama Cina dari tahun sebelumnya. Sementara itu, kenaikan harga rumah di negara lain seperti di Hong Kong, India, Singapura, Australia, Malaysia, dan Indonesia hanya mampu menopang kenaikan harga rata-rata pasar perumahan di di wilayah Asia-Pasifik sebesar hampir 18 persen.
"Posisi empat besar dalam peringkat kami semuanya ditempati oleh negara-negara di Asia-Pasifik, sementara negara-negara di Eropa mendominasi peringkat bagian paling bawah," kata Liam Bailey, kepala peneliti perumahan di Knight Frank Global.
Dalam laporan Knight Frank Global tersebut dia juga menyebutkan bahwa tingkat kemakmuran China telah menguntungkan negara-negara di Asia. Harga properti meningkat hampir 31 persen dari tahun sebelumnya di Hong Kong serta 24 persen dan 20 persen masing-masing di Singapura dan Australia. () AFP/rtr/had
sumber : koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/90296
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
JOIN NOW !!!
BalasHapusDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.com